Bom Lagi di Rusia Salah satu pelaku berseragam polisi.

Posted by Ibnu(dunia-klue) On Kamis, 01 April 2010 0 komentar

Wulan Tunjung Palupi
MAKHACHKALA - Dua ledakan bom bunuh diri terjadi di Dagestan, selatan Rusia, Rabu (31/3). Padahal, Senin (29/3) lalu, dua ledakan bom bunuh diri juga terjadi di kereta bawah tanah di Moskow, menewaskan 39 orang.
Bom bunuh diri di wilayah Kaukasus Utara ini menewaskan sedikitnya 12 orang dan melukai 18 lainnya. Sembilan orang di antara korban tewas adalah polisi.

Berbeda dengan bom bunuh diri di Moskow yang pelakunya dua wanita, serangan di Dagestan ini salah satunya dilakukan oleh pelaku berseragam polisi. Menteri Dalam Negeri Dagestan, Rashid Nurgaliyev, mengatakan, salah satu pelaku meledakkan bomnya di Kota Kizlyar di dekat perbatasan Dagestan dengan Chechnya, ketika polisi hendak memberhentikan mobil pengebom.

"Polisi Lalu Lintas mengikuti mobil itu dan mereka nyaris tertangkap, kemudian ledakan itu menghantam," kata Rashid. Mobil yang dinaiki para pengebom itu sedang menuju pusat Kota Kizlyar, di mana terletak gedung sekolah dan bangunan pemerintah.

Saat pihak berwenang dan penduduk berkumpul di lokasi ledakan, pengebom kedua yang mengenakan seragam polisi dengan bahan peledak di tubuhnya, meledakkan bom. Bom kedua ini menewaskan kepala polisi Kizlyar beserta anak buahnya.

Dua pengeboman berturut-turut itu menandai kembalinya serangan teroris ke Rusia setelah enam tahun vakum. Dagestan yang masuk wilayah Kaukasus Utara yang berbatasan dengan Chechnya dan Ingushetia, relatif lebih sering jadi sasaran teror. Polisi kerap jadi targetkarena mereka mewakili penegak hukum federal, musuh ideologis separatis.

Kebijakan garis keras Sementara itu, serangan bom di kereta bawah tanah (subway) di jantung Kota Moskow, Senin (29/3) lalu, membuat Perdana Menteri Rusia, Vladimir Putin, kembali mengobarkan perang melawan terorisme. Ia menggunakan lagi jargon-jargon keras yang membantunya memenangkan pemilu 1999.

Pelaku pengeboman bunuh diri yang menewaskan 39 orang itu, kata Putin, harus dikorek "dari dasar selokan" dan diekspos ke muka umum. Aktivis mengkhawatirkan Putin akan kembali pada kebijakan garis kerasnya. Dalam rapat keamanan transportasi yang digelar Selasa (30/3), Putin menegaskan, kamera pengintai tak bisa mencegah serangan teroris, tapi mungkin membantu polisi mengidentifikasi mereka.

"Kita tahu mereka sedang bersembunyi, tapi ini masalah kehormatan badan penegak hukum untuk mengorek mereka dari dasar selokan dan menunjukkannya ke publik," kata Putin. Bahasa semacam inilah yang dinilai menggambarkan sosok Putin yang tangguh.

Pada 1999, saat memimpin Moskow memerangi separatis Chechnya, ia bersumpah untuk mengejar dan menggiring mereka "keluar dari kakus". Peperangan ini meningkatkan popularitas Putin di mata rakyat Rusia. Putin, saat itu menjabat sebagai perdana menteri, mengirimkan personel militer dalam jumlah besar ke wilayah Chechnya, yang memaksa para pemberontak menyerah. Ia terpilih sebagai presiden pada tahun berikutnya.

Sekarang, sebagai perdana menteri kedua kalinya, setelah menjalani dua kali presiden, Putin memiliki alasan kembali ke kebijakan garis kerasnya seperti masa lalu. Sikap Putin ini disambut oleh banyak orang Rusia, meski menimbulkan kekhawatiran kebebasan sipil akan lebih dikorbankan dengan dalih memerangi terorisme.

Putin menggunakan isu serangan teroris di 2004 untuk mengonsolidasikan kekuasaannya lebih lanjut. Dia menghapuskan pemilihan gubernur, secara efektif memberi Kremlin kekuasaan untuk menunjuk gubernur, dan mendorong para kritikus liberal keluar dari parlemen. Sejak saat itu, oposisi politik telah sepenuhnya terpinggirkan.

Banyak pemimpin oposisi dan aktivis HAM mengkhawatirkan pengeboman subway itu akan jacfif alasan pemerintah menekan oposisi, atau menindak lebih keras, aksi protes jalanan. "Pemerintah kami senang menggunakan peristiwa itu untuk bertindak seperti yang diinginkan," kata Alexeyeva, veteran aktivis HAM. Menurutnya, kejadian ini kesempatan baik untuk lebih membatasi kebebasan konstitusional, dan politisi berpurapura peduli keamanan rakyat.

Lidia Yusupova, aktivis HAM warga Chechnya, mengatakan, "Akan ada tindaan keras pada semua kalangan. Kita tidak punya hak sekarang, tapi akan lebih sedikit lagi yang kita miliki."

Artikel Yang Berhubungan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

    SITE INFO

    CHAT ANTAR BLOGGER



    KLUEVERS